Kita hidup sehari-hari dengan stereotype yang kita pegang terhadap sesuatu. Bagaimana kita dengan mudah meyakini
bahwa itu benar dan ini benar dari stereotype itu tadi. Stereotype bisa
jadi positif atau negatif. Jika kita terus melakukan stereotype, maka
dia akan berbahaya. Stereotype sering kita lakukan dengan cara yang
sistematis. Mengapa? Sadar atau tidak sadar, kita akan menilai sesuatu
seperti ini: Sesuatu itu pasti A. Mengapa A karena ia B. Mengapa B, ya
karena A sama dengan B. Atau B identiknya dengan A.
Pekan ini saja, setidaknya aku mendapati dua stereotype yang berkembang di masyarakat. Stereotype pertama datang dari teman dekatku. Tentu stereotype ini tidak hanya dimiliki oleh dia saja tetapi juga sebagian orang lain yang juga meyakininya. Siang-siang, kita berdua naik motor. Melewati di depan jalan salah satu rumah kawasan elit di Jogja, terdapat cewek Indonesia (secara fisik dia ras melayu, dan beretnis mungkin Jawa) berkulit gelap, memakai tanktop, hotpants, tidak terlihat gaul dan keren meskipun memakai pakaian yang seperti itu, dan baru saja keluar dari mobil sepertinya. Langsung saja temanku bilang, "Pasti cowoknya bule tuh." Tentu cewek yang berpenampilan seperti itu, tidak semua bercowok orang asing (baca ras kaukasoid). Tentu, pernyataan temanku itu tak salah. Memang kenyataannya banyak (mungkin lebih baik aku bilang beberapa) bule di Indonesia, jika mempunyai cewek Indonesia, ceweknya berkulit gelap, terlihat norak dan juga tak jarang yang juga tidak terlihat berpendidikan. Serta beberapa dari mereka adalah "The Angel" atau "The Bang-bang Girl." Banyak yang tanya, "Mengapa ya dia (si bulenya) mau? Padahal ceweknya itu tidak ada cantik-cantiknya dan terlihat kampungan?" Jadi kasihan juga, bagi cewek berkulit gelap yang berpenampilan seperti itu tapi tidak mempunyai pacar bule. Stereotypenya akan sama yang dia dapat. Aku pun bertanya, "Memang kelihatan ya? Apa aku juga terlihat kalau cowokku bule?" Temanku menjawab, "Tidak". Hehehe... Jadi penasaran bagaimana orang menilaiku pertama kali jika dilihat dari gayaku dan kulitku saat ini.
Stereotype
kedua berasal dari aku sendiri yang nampaknya juga dipercayai oleh
orang lain. Aku baru kenal cewek yang bernama Efi dari postingan grup
komunitas Couchsurfing. Dia belajar bahasa Belanda, dan ingin bertemu
dengan orang lain untuk memperlancar bahasa Belandanya. Aku pun
menjawabnya dan kita pun bertukar alamat skype. Malamnya kita pun
bertemu tanpa janjian sebelumnya. Dengan stereotype yang aku bawa, aku
bertanya, "Jadi mengapa kamu belajar bahasa Belanda? Cowokmu orang
Belanda ya?" Hehehe... Dan dia pun tertawa dan menjawab, "Aku tak pernah
belajar bahasa demi orang lain." Dan aku pun baru tersadar bahwa
pertanyaanku itu mengandung stereotype bahwa orang (khususnya para
pemuda/i) belajar bahasa lain ya karena cowok/ceweknya berbahasa berbeda
dari bahasa sehari-harinya. Aku pun belajar bahasa Belanda karena
memang cowokku orang Belanda. Karena akan tinggal di sana dan juga
ketika ke Belanda pertama kali pada tahun 2009 aku tau sebelumnya kalau
ibunya cowokku tidak lancar berbahasa Inggris, aku pun berinisiatif
untuk belajar bahasa Belanda untuk dapat berkomunikasi dengan
keluarganya. Dan tentu, alasan ini juga dimiliki oleh orang-orang yang
mempunyai pasangan berbahasa lain. Temanku yang lain belajar bahasa
Jerman karena ceweknya orang Jerman. Dia pun bela-belain untuk kursus
bahasa Jerman meskipun akhirnya ia harus menyerah dengan bahasa Jerman
yang tidak mudah dengan banyak grammernya itu, ditambah pula ia akhirnya
putus dengan cewek Jermannya.
Dan
sepertinya, kita memang hidup sehari-hari dengan stereotype yang kita
bawa dan kita yakini. Adakah dari kalian yang tidak pernah
berstereotype? Jadi bagaimana kita agar terhindar dari stereotype?
Berkomunikasi, berinteraksi, dan saling mengenal. Dengan begitu akan
membuka wawasan kita. Tak selamanya A adalah B. Bisa jadi dia X, Y,
ataupun Z. Dan itu juga menjadi PR bagiku.
No comments:
Post a Comment